Sepenggal mentari di Losari 1




Seperti sore-sore awalnya, duduk terdiam memandang mentari saat akhir mendekati malam. Warna jingga yang menerawang jatuh ke pangkuan senja yang semakin menarik. Kesendirianku beberapa waktu ini membuat lamunan-lamunan indah serta tempati sebagian besar ruangan dalam benakku. Bersamaan jatuhnya mentari ke kaki langit ufuk barat sana, makin berasa nuansa lain yang mendesir di pelataran khayalku. Semilir angin mamiri Kota Daeng, Makassar, seolah menghidupkan lagi debaran-debaran yang semakin berasa naik-turun di dadaku. Raut muka datar memandang mentari yang semakin terbenam. Bersamaan dengan teringat kembalinya satu insiden yang tentunya masih fresh dalam daya ingat. Dua minggu kemarin. Seandainya saja waktu dapat berulang-ulang. Tetapi tidak! Waktu terus berlalu bawa insiden untuk insiden.
Lita, seorang yang baru kukenal kurang lebih akhir April tempo hari di salah satunya mall yang berada di kota ini. Perawakan muka datar, simpel, dengan bodi yang cukup aduhai. Tinggi 169 cm dengan berat 57 kg. Kulit sawo masak, seperti orang umumnya. Potongan rambut pendek, benar-benar cocok dengan muka serta bentuk badannya yang langsing, seksi. Lita, umurnya kurang lebih 32 tahun, seorang pegawai PNS, di salah satunya lembaga yang berada di wilayah ini. Dari perjumpaan yang tidak menyengaja itu, pada akhirnya selanjutnya berekor dengan janji untuk berjumpa lagi sesudah ia memberi nomor telephone kantornya untuk selanjutnya kami juga berpisah.

Berawal dari telepon-teleponan ke kantornya, tentunya waktu jam kantor. Pada akhirnya satu hari, kurang lebih 5 hari sesudah tatap muka itu. Persisnya hari Sabtu, setahuku, hari Sabtu jam kantor pegawai cuma sampai jam 12:00 siang. Janji berjumpa dalam suatu restorant fast food dalam suatu mall yang terdapat tidak jauh dari rumah dinas gubernur. Serta sesuai dengan janji, jam 12:45 WITA, Lita ada dengan seorang rekan wanita. Jika kutaksir usia rekan Lita itu, kurang lebih seumuran dengan Lita, 32 tahun, sebab garis muka yang sama jauh dengan Lita. Seorang wanita berpostur manis, kulit putih, menurut sangkaanku ia dari utara, Manado (maaf) kemungkinan.

Entahlah, sebab selama tatap muka dengan Lita serta temannya itu, saya tidak sempat bertanya asal usulnya. Cuma pernah bertanya namanya, Linda. Lita yang dari pengamatanku semasa tatap muka itu, perkiraanku, Lita memakai bra memiliki ukuran 36 serta Linda memakai bra memiliki ukuran 34. Tinggi Linda juga sedikit di bawah Lita. Namun rambut Linda yang sepunggung membuat ia terlihat semakin asyik. Waktu itu, ke-2 rekan baruku itu masih memakai baju kantor, seragam coklat.

Sampai usai makan di restoran fast food itu, saya dibawa ke rumah Linda. Sesuai keinginan Linda yang meminta tolong untuk membenarkan VCD-nya yang tidak dapat di on. Dengan taxi kami juga pergi bertiga ke rumah Linda yang rupanya cukup jauh dari tempat kami berjumpa barusan. Dalam suatu perumahan di teritori utara kota Makassar. Sesudah kurang lebih 1/2 jam di taxi, pada akhirnya sampai ke rumah Linda. Turun dari taxi kuperhatikan rumah itu kosong. Serta sesudah kutanyakan pada Linda, tuturnya memang ia tinggal sendiri. Walau sebenarnya menurut perkiraanku, Linda ini telah bertemumi. Lain perihal dengan Lita yang semenjak tatap muka pertama kami telah saya tahu jika ia telah memiliki keluarga serta memiliki seorang anak wanita telah kelas 6 SD.

Mereka mempersilakan saya duduk, sesaat Lita serta Linda, tuturnya, akan mengubah baju dahulu. Sekalian menunjukkan VCD-nya, Linda masuk kamar diikuti Lita. Dari dalam kamar terdengar Linda mintaku untuk melihat-lihat perlengkapan VCD itu yang ada satu tempat dengan tv. Sesudah kuperiksa, rupanya kabel powernya putus. Selang beberapa saat Lita telah berdiri di sampingku. Sekejap kulirik ia, Lita memakai satu daster, biasanya wanita, memakai daster waktu telah ada di dalam rumah. Namun yang ada lain dari penglihatanku waktu itu, Lita kelihatannya tidak memakai bra. Walau tidak terlihat demikian jelas putingnya sebab dasternya berwarna gelap, biru tua. Yang semakin membuat saya tidak dapat fokus lagi ialah rupanya daster itu pendek. Cuma sesudah paha. Bisa dipikirkan, bentuk tinggi 169 cm dengan daster pendek 1/2 paha serta bagian badan yang padat, tentunya ini membuat debaran lainnya. Berhembus, rasa-rasanya.

Saya terpana waktu itu. Lita rupanya memerhatikan tingkahku yang mulai cukup resah. Ia mendehem dan tersenyum saja untuk pada akhirnya ia duduk di tempatku duduk barusan. Alamak, itu paha semakin nampak jelas. Saya makin salah tingkah. Sesudah usai menyambung kabel itu, saya menanyakan ke Lita mengapa tidak pulang ke tempat tinggalnya. Ia justru ketawa kecil sekalian menjawab jika suaminya sedang ada pekerjaan ke wilayah serta anaknya di dalam rumah ditemani adiknya.

Kucoba terus menentramkan perasaan yang semakin tidak karuan. Saya sukses, tidak lama kemudian kunyalakan TV serta VCD, kuraih disk yang berada di dekat TV. Rupanya memang hanya permasalahan kabel. VCD itu telah berfungi secara baik. Tetapi tanpa ada menyengaja, rupanya VCD itu satu VCD XX. Waktu saya akan mematikan TV serta VCD itu, tanganku dihalau Linda yang dari ruangan tengah bawa 3 gelas minuman sirup. Tuturnya agar saja, sekalian meleparkan senyuman mengarah Lita. Minimal senyuman itu saya tahu tujuannya. Upss..! Ada apakah ini, tanyaku dalam hati sesaat sampai tidak lama kemudian saya telah sadar tujuan semuanya. Baik sambutku lagi dalam hati, saya akan ladeni permainan ini.

Kuperhatikan Linda dengan memakai pakaian kaos yang benar-benar pendek sampai pusarnya terlihat. Serta terlihat jelas puting Linda menyembul dari balik kaos putih itu. Menyengaja, demikian bisikku dalam hati. Linda kenakan celana pendek yang berwarna putih tetapi tipis. Sampai terlihat kabur CD hitam yang ia gunakan. Itu nampak jelas saat Linda akan simpan nampan di meja dekat TV. Sesaat Lita waktu itu duduk dalam tempat yang benar-benar melawan, kaki di kangkang dengan tangan kirinya telah menyeka-usap selangkangannya. Edan, jeritku dalam hati, berani sekali wanita ini. Serta mengapa juga ia tidak malu padaku.

Tanpa ada kusadari, rupanya suatu hal yang tegang tengah menyembul dari balik celana kain yang kukenakan. Linda memerhatikan hal tersebut, sampai waktu kembali lagi kutatap Linda, ia tersenyum dan melirik mengarah selangkanganku. Hal tersebut membuatku salah tingkah, tetapi selanjutnya kuacuhkan. Agar saja, toh mereka sekarang ini lagi terangsang, pikirku. Tetapi rupanya, keberanianku cuma hanya khayalanku saja. Toh tidak lama kemudian sikap duduk kuperbaiki, rasa-rasanya saya masih malu dengan benjolan di celanaku. Dengan muka yang masih tetap merah malu, saya menunduk. Tetapi tentunya saya masih mengambil pandang berganti-gantian ke ke-2 wanita itu dengan cara berganti-gantian.

Entahlah, kedengarannya adegan di monitor TV itu sedang hot-hotnya, sebab terdengar erangan-erangan yang semakin membuatku terangsang. Tetapi saya kurang demikian memerhatikan adegan di TV itu. Yang ada pada ruangan pikiranku waktu itu hanya, ke-2 wanita yang semakin hot ini. Yang semakin mencengangkan lagi, sejurus selanjutnya, Linda sudah buka semua bajunya, telanjang bundar. Serta.. wow.. rambut yang lebat di selangkangannya, benar-benar melawan keinginanku untuk lelaki. Tetapi satu kali lagi, keinginan itu saya harus tertahan dengan ketidakberanianku.

Waktu kumenoleh mengarah Lita, hah.. ia juga telah mulai buka satu-satu baju yang ia gunakan. Ke-2 wanita ini tanpa ada baju. Hah.. rasa-rasanya nafasku semakin mengincar. Entahlah bagaimana lagi harus kuatur, tetapi tetap saya terengah-engah. Sampai kucoba menentramkan diri, 1 detik, 2 detik.. 9 detik serta kurang lebih 10 detik.. serta saya juga sukses.. saya sukses menanganinya. Tetapi rupanya di saat itu, Lita serta Linda telah duduk di samping kiri serta kananku. Serta yang semakin membuatku lebih grogi ialah rupanya kancing celana serta bajuku telah lepas. Pernah terbetik dalam hatiku, ke mana saja saya serta apa juga ini? Pertanyaan yang terbersit dalam benakku, jadi basi dalam tempo yang kurang dari beberapa menit.

Sesaat saya masih juga dalam ketidakberdayaan gerak, terdiam, Lita sudah mengulum batanganku yang rupanya telah tegang. Serta di saat lainnya, Linda dengan ganas serta terus-menerus menciumi dadaku. Syaraf normalku rasa-rasanya tidak bekerja, entahlah, tanganku yang ada dalam tuntunan tangan Linda arahkan serta membimbingnya menyeka-usap selangkangannya. Licin. Masih saya dalam ketidakberdayaan gerak yang memakuku dalam nuansa birahi.

Kesadaranku bangun di saat dimana saya bukan jadi diriku lagi, seperti satu perintah yang menggelegar, waktu syarafku gerakkan birahiku. Saya mulai bereaksi, tetapi situasiku dalam tempat yang kalah. Saya sudah ditelanjangi mereka. Tetapi belum telat untuk memberi perlawanan. Tangan yang semula dituntun Linda ke selangkangannya, sekarang dengan gesit serta mahir mendustai wilayah terlarangnya yang di kelilingi rambut yang hitam.

Popular posts from this blog

Teman Yang Pengertian

Istriku dan mantan pacarku

Sepenggal mentari di Losari 2